Dee…
Lima tahun dari sekarang, yang pertama kali aku harapkan adalah semoga kamu selalu sehat. Karena sehat itu mahal adanya. Sehat itu sangat berharga. Sehat itu adalah akar dari semuanya. Tentu saja tidak hanya sekedar sehat ragamu, tetapi juga jiwamu. Karena tidak ada artinya sehat raga tetapi jiwamu sakit. Semoga kamu menjadi orang yang selalu menghargai sehat, mensyukuri setiap hela nafas yang diberikan Allah SWT kepadamu.

Dee…
Lima tahun dari sekarang, semoga kamu semakin dekat pada-Nya. Seiring berjalannya waktu, semoga kamu semakin bisa lebih taat menunaikan ibadah wajibmu, dan memperbanyak ibadah sunnahmu. Menjadi orang yang lebih memahami “arti” hidup. Karena seiring bertambahnya umurmu, tentu saja “waktu” itu akan dekat juga bukan? Sehingga kamu punya “bekal” untuk datang menghadap pada-Nya suatu saat nanti.

Dee…
Lima tahun dari sekarang, semoga kamu sudah benar-benar bisa menerima dam memaafkan masa lalumu. Memaafkan dirimu sendiri. Itu mungkin sebuah kesalahan. Tetapi tidak patut kamu sesali sepanjang hidupmu. Apapun itu, itulah jalan hidupmu. Aku bersyukur kamu segera menyadari kesalahan itu. Namun, akan terasa menyedihkan kalau kamu terus “meratapinya” . Kalau saat kamu membaca ini lima tahun kemudian, kamu masih belum bisa “normal”, kamu kalah Dee.

Dee…
Lima tahun dari sekarang, semoga kamu sudah bukan seorang ”Malin Kundangwati” lagi. Lebih sering berkomunikasi dengan keluargamu. Lebih sering pulang ke tanah kelahiranmu. Menjalin silahturahmi dengan keluarga-keluarga, saudara-saudaramu. Memperbanyak berinterkasi dengan mereka. Lebih arif dan kalem menghadapi mereka.  Lebih sering menanyakan kabar mereka tanpa harus menunggu ditanya juga. Bukan hanya keluarga intimu, begitu juga dengan keluarga  dan saudara lainnya.

Dee…
Lima tahun dari sekarang, kamu juga harus sudah menjadi orang yang tidak hanya dekat dengan kawan barumu. Sapalah sahabat-sahabat dan kawan-kawan lamamu. Mereka yang mungkin sejenak “terlupakan”. Mungkin mereka ingin “disapa” terlebih dahulu, tetapi “segan” karena berbagai alasan. Kalaupun tidak bisa bertemu karena kesibukan masing-masing, atau jarak yang terlalu jauh, sempatkanlah sesekali saling menanyakan kabar. Sesekali bernostagia tentang masa dulu, masa kanak-kanak, masa remaja. Tentunya akan menyenangkan.

Dee…
Lima tahun dari sekarang, semoga kamu tidak pernah lagi membawa “dendam” akan kesalahan seseorang. Semoga kamu sudah bisa sepenuhnya memaafkan “musuhmu”, memaafkan orang-orang yang menyakiti hatimu. Tidak ada gunanya juga menyimpan “mereka” dalam hati dan pikiranmu. Karena jika kamu “membenci” orang lain, bukankah pikiranmu terus “membawa“ mereka? Lebih baik “membuang” mereka jauh. Memaafkan akan terasa lebih melegakan.

Dee…
Lima tahun dari sekarang, aku berharap kamu menjadi pribadi yang lebih “terbuka”. Kamu memang terlihat kuat dan tegar. Tetapi kadang kala ada hal yang harus kamu bagi dengan orang lain. Menceritakan hal yang bisa membuatmu lebih “lepas”. Mulailah kembali percaya pada seseorang. Memang terkadang lebih “aman” untuk tidak bercerita kepada siapapun. Jika kamu masih sanggup bertahanlah, namun jangan membuat pikiran dan hatimu “lelah” untuk menampung semuanya.

Dee…
Lima tahun dari sekarang, semoga kamu sudah bisa menentukan tetap bekerja sebagai orang “suruhan” atau “mandiri”. Sudah harus bisa memutuskan yang terbaik. Karena tidak bisa selamanya kamu bisa bekerja seperti sekarang ini, bukan? Namun sepertinya terlalu banyak juga rencana yang ada di pikiranmu. Pastikan segera, dan berusaha untuk mewujudkannya. Tentu saja  kamu harus ingat juga mengumpulkan “modal” untuk semuanya. 

Dee…
Lima tahun dari sekarang, andai kata jalan hidupmu masih ditakdirkan harus sendiri, tetaplah berpikiran positif. Jangan pernah menyalahkan apa yang sudah digariskan, apalagi menyalahkan diri sendiri. Tetaplah menjadi kamu yang sabar, tegar dan kuat. Allah SWT pasti punya rencana lain atas dirimu. Kamu adalah orang “pilihan”, karena tidak semua orang akan sanggup menjalani seperti dirimu. Tetaplah bahagia. Tetaplah tersenyum menghadapinya.

Dee…
Lima tahun dari sekarang, semoga kamu bisa mewujudkan trip impianmu. Melihat langsung aurora di Iceland saat musim dingin. Menikmati indahnya pemandangan New Zealand di musim gugur. Menyusuri Cheonggyecheon Stream dan Gwanghwamun Square kembali. Perjalanan ke Indochina. Snorkling  di Derawan. Menikmati senja di Ora Beach. Berlarian sepanjang Pasir Panjang di Pulau Kei. Berkelana ke Raja Ampat. Tentu saja menuntaskan “dendam” di Pulau Rinca. Oh iya jangan lupa janji untuk mengunjungi Takabonarate. Semoga dalam lima tahun itu, semua bisa kamu kunjungi.

Dee…
Lima tahun dari sekarang, semoga blogmu nggak lumutan karena moody-mu itu ya. Tetaplah menulis, tetaplah bercerita. Menceritakan apa saja yang terjadi dan kemana saja kamu selama lima tahun ke depan. Kamu tahu, menulis juga sebagai pengingat, karena kita manusia semakin bertambah usia semakin pelupa.  Tulisan sebagai rekaman jejakmu. Percayalah, akan terasa indah ketika kamu membacanya kembali suatu saat nanti.

Dee…
Lima tahun dari sekarang, semoga kamu membaca ini bersama seseorang yang ditakdirkan bersamamu…


Dee





Tantangan ke-3! Temanya LANGIT. Nah lho. Ada apa dengan langit? Ini temanya lebih berat dari pada JODOH, sungguh *tampang serius memandangi langit – langit-langit rumah ahahaha*. Apapun itu, harus konsekuen dong kita. Walaupun rada molor dari jadwal hihihi. Oke, mari kerahkan segenap tenaga dan pikiran untuk tema kali ini ahahaha.

LANGIT. Langit itu bisa jadi merupakan ungkapan atau gambaran hati. Langit biru, ungkapan hati yang sedang cerah atau gembira. Langit mendung menggambarkan hati yang sedang gundah gulana atau galau maksimal. Bahkan ketika seorang ditimpa masalah, mereka mengatakan langit seakan runtuh. Bagi yang lagi LDR pun langit sebagai salah satu “pengikat”, masih memandangi langit yang sama, begitu katanya *kalau beda langit, situ pacaran sama makhluk planet lain dong*.

Saat langit menumpahkan air ke bumi, kadang kala terasa begitu sendu, bagaikan tangisan. Namun bagi sebagian orang hujan adalah berkah. Bagi anak-anak kecil *anak-anak jaman dulu kala ahahaha*, hujan itu anugerah. Karena bisa bebas bermain di luar rumah. Hujan-hujanan, berlarian bersama teman-teman. Bersenda gurau di bawah hujan. Nah dewasaan dikit, hujan mulai menggambarkan kegalauan hati buat sebagian orang. Ketika lagi bersedih dan ingin menangis tetapi nggak mau dilihat orang, berjalanlah di bawah hujan. Nah kenapa jadi membahas hujan? Langit oiii, langit. Ohhh okay, kembali ke langit.

Langit bisa jadi  juga sebagai ungkapan pengharapan. Gantungkan cita-citamu setinggi langit. Artinya bermimpilah setinggi-tingginya, sejauh apapun. Selagi bermimpi itu gratis alias nggak harus bayar. Tercapai atau tidaknya tergantung usaha dan takdir. Jadi jangan takut untuk bermimpi, karena kita tidak pernah tahu hasil dari usaha dan takdir mengantarkan kita kemana dan menjadi apa. Karena itulah aku mengangkat temanya menjadi “Langit Impian”. Lebih tepatnya impian untuk melihat “langit” daerah, kota, atau bahkan negara lain.

Terlalu lama hidup di kota *meskipun menurut si Gita, Bintaro itu dusun ahahaha*, sibuk dengan urusan kantor-rumah-kantor. Hal ini terkadang membuat lelah jiwa dan raga *lebai*. Kesannya kerjaannya yang ngurusin negara aja ya. Tetapi benar lho, raga terutama jiwa butuh “istirahat” sesekali. Nah, liburan itulah salah satu pilihannya. Memang tipikal liburan tergantung masing-masing kita juga sih. Ada yang sudah cukup bahagia tidur seharian di rumah, nonton seharian, leha-leha di rumah, ada juga yang keluar kota, bahkan keluar negeri. Terus maksud “langit impian”? Impian untuk melihat langit gitu? Bukannya langit dimana-mana sama? Nggak sama lah, tergantung suasana hati dan cuaca ahahaha.

Aku pernah punya impian untuk melihat *lagi* langit yang bertaburan bintang-bintang. Karena melihatnya di kota sudah sulit, nyaris nggak bisa malah. Sudah terkalahkan oleh cahaya lampu dan bahkan polusi udara. Dulu sewaktu kecil mungkin masih sering melihat bintang bertaburan. Itu pun rasanya  sudah lama banget *maklum lahir  jaman purba :P*. Atau apakah aku yang tidak pernah memperhatikan langit malam yang setiap hari aku lewati? Langit tempat bernaung *tsahhh*.

Impianku terkabul saat melakukan berada di perkampungan Baduy Dalam, perjalanan melihat sunrise Bromo dan sewaktu camping di Papandayan. Mungkin juga ada di beberapa perjalanan lain aku melihatnya. Tetapi yang sangat terkenang adalah di perjalanan yang aku sebutkan sebelumnya. Paling memorable itu saat berada di perkampungan Baduy Dalam. Rasanya baru kali ini melihat pemandangan langit yang sangat menganggumkan. Sungguh sangat indah. Langit benar-benar bertaburan bintang, penuh. Sepertinya di langit itu tidak ada celah yang kosong. Sewaktu melihatnya langsung teringat lagunya Bapak AT Mahmud, Bintang Kejora.

Ku pandang langit
Penuh bintang bertaburan
Berkelap-kelip
Seumpama intan berlian
Tampak sebuah
Lebih terang cahayanya
Itulah bintangku
Bintang kejora yang indah selalu

Saat itulah aku pikir mungkin Bapak AT Mahmud menciptakan lagu Bintang Kejora, karena pada zamannya masih banyak bintang-bintang bertaburan dengan jelas di langit. Tidak seperti sekarang, untuk melihatnya terkadang kita harus ke tempat yang jauh dari perkotaan. Benar adanya taburan bintang di langit saat itu bagaikan intan berlian yang berkelap kelip. Sungguh sangat menakjubkan. Sayangnya karena ada di perkampungan Baduy Dalam, kita tidak boleh memotret keindahan alam tersebut. Walaupun begitu, mata dan hati sudah menyimpan kenangan itu.

Saat ini aku sangat memimpikan untuk melihat keindahan langit Iceland (Islandia), melihat Aurora Borealis. Aurora adalah fenomena alam yang menyerupai pancaran cahaya yang menyala-nyala pada lapisan ionosfer dari sebuah planet sebagai akibat adanya interaksi antara medan magnetik yang dimiliki planet tersebut dengan partikel bermuatan yang dipancarkan oleh Matahari (angin surya) – sumber Wikipedia.

Di bumi, aurora terjadi di daerah di sekitar kutub Utara dan kutub Selatan magnetiknya. Aurora yang terjadi di daerah sebelah Utara dikenal dengan nama Aurora Borealis, yang dinamai Dewi Fajar Romawi, Aurora, dan nama Yunani untuk angin utara, Boreas. Ini karena di Eropa, aurora sering terlihat kemerah-merahan di ufuk utara seolah-olah Matahari akan terbit dari arah tersebut. Aurora borealis selalu terjadi di antara September dan Oktober dan Maret dan April. Fenomena aurora di sebelah Selatan yang dikenal dengan Aurora Australis mempunyai sifat-sifat yang serupa. Tetapi kadang-kadang aurora muncul di puncak gunung di iklim tropis – sumber Wikipedia

Ini bisa dibilang impian teranyar. Karena sebelumnya aku sama sekali tidak berangan-angan untuk melihat aurora. Pernah melihat tayangan tentang aurora, tetapi nggak terlalu yang gimana gitu melihatnya. Sempat beranggapan terlalu jauh dari jangkaun. Pastilah akan sangat mahal ke sana. Tetapi, apa salahnya memimpikannya bukan? Tidak ada yang tidak mungkin. Untuk biaya mahal sepertinya bisa disiasati, rajin mencari tiket promo salah satu caranya ahahaha.

Sebelumnya yang sangat menjadikan impianku adalah New Zealand *ini keinginan belagu banget ya*. Namun setelah melihat tayangan reality show Korea, Friends Over Flowers keinginan untuk melihat aurora langsung menggebu-gebu. Selain pemandangan di Iceland yang fantastis apalagi saat winter, aurora terlihat sangat sangat spektakuler. Warnanya yang indah. Ahhhh entahlah, perumpamaan apa yang harus diucapkan atas keindahan salah satu ciptaan-Nya ini. Sungguh kehabisan kata-kata mengungkapannya. Melihat di layar kaca saja sudah membuat terpana, apakabarnya impian ini menjadi nyata. Andai uang tinggal photocopy, sudah terbang deh ke sana *ini namanya ngawur ahahaha*. Tetapkan hati dan pikiran. Percaya dan berusaha. Pasti, suatu saat nanti. Aku bisa berada di sana. Memandangi aurora di Iceland. Tuhan jadikan mimpi ini nyata. Ammiinn… *nangis*

Mariii nabunggg! Mari nyari side job! Hahahaha… Fighting Dee!!!








Dee

(Gambar dari Google)








“Aku harus pergi dari kampung ini, Mak”
Mak bergeming. Perhatiannya seolah tersedot sehelai baju bapak yang nyaris lepas kancingnya. Tangannya lihai memainkan jarum. Menguntai benang, merapikan kancing itu. Aku menatap Mak. Menunggu dia menyelesaikannya. Mak sepertinya sengaja berlama-lama hanya untuk sebuah kancing. Mengacuhkan perkataanku.
“Mak…”
Mak masih saja diam.
“Mak, aku…”
“Kapan, kau akan pergi?”
Mak bertanya sambil memutus benang dengan menggigitnya. Aku malah kaget dengan pertanyaan mak. Aku menyangka, dia akan bertanya “kenapa?”. Seharusnya itu yang dia tanyakan. Namun mak sepertinya juga tidak perlu mempertanyakan. Dia sudah tahu alasanku. Ahhh, aku tetap tidak siap dengan pertanyaan mak.
"Secepatnya.”
Aku menyahut sambil memilin-milin benang yang tadi digunakan mak. Gelisah.
“Nanti aku bicarakan sama bapakmu.”
Mak beranjak dari duduknya di teras, masuk ke dalam rumah. Meninggalkan aku yang terpaku.

@@@@@

“Harus kau pergi dari kampung ini?”
Bapak bertanya sambil menatap layar televisi. Mak dari tadi hanya terlihat mondar-mandir di dapur. Adikku, Andi dan Agus sedari Maghrib mengunci diri di kamar mereka. Sepertinya seisi rumah ini tahu aku akan “disidang” bapak. Aku memperhatikan bapak. Matanya memang lurus menghadap televisi di ruang keluarga kami, tapi aku tahu, pikirannya tidak.
‘Iya Pak.”
“Yakin kau, dengan putusanmu?”
Aku hanya mengangguk. Bapak pasti bisa melihat anggukanku dari sudut matanya. Keputusanku sudah bulat. Meskipun aku tahu ini nekat, restu dari mak dan bapak harus tetap aku pikirkan. Aku tidak mungkin pergi tanpa ijin mereka.
“Karena semua kejadian itu, kau akan pergi meninggalkan kampung ini? Meninggalkan mak kau juga?”
“Maafkan aku, Pak, sekarang yang ada di pikiranku pergi dari sini.”
“Dengan siapa nanti mak, kau?”
“Ada Andi dan Agus.”
Aku menjawab sambil menahan air mata yang sudah sedari tadi ditahan. Aku hanya mampu menjawab itu, meskipun tahu ini jawaban yang salah dan menyakitkan.
“Kau anak perempuan satu-satunya. Belum lagi pekerjaan kau? Bisa kau minta pindah ke Jakarta itu?”
“Aku akan berhenti. Pak.”
“Berhenti? Maksud kau, kau behenti jadi pegawai?”
Suara bapak sepertinya bergetar, menahan marah. Wajar bapak marah. Anak yang sudah susah payah disekolahkan sampai perguruan tinggi. Menjadi pegawai negeri. Sekarang meminta ijin untuk meninggalkan semuanya.
“Apa gunanya kau pergi? Kau sakit hati karena omongan orang kampung? Tidak ada gunanya kau dengarkan omongan mereka. Nanti mereka juga akan lupa. Urungkan niat kau itu, Gita. Anggap saja, kali ini Bapakmu ini memohon pada anaknya.”
Airmataku tumpah. Perkataan bapak menyayat hatiku. Aku juga ingin memilih tinggal di samping mereka. Namun sulit untuk mengalah pada kuatnya keinginan untuk pergi. Pergi dari masalah yang mengelilingiku. Mak  yang sedari tadi sengaja menyibukkan diri di dapur, datang memelukku. Kami bertangisan. Air mata mengalir di sudut mata bapak.
Maafkan anakmu ini, Mak, Bapak…

@@@@@

Tiga tahun sudah aku pergi. Meninggalkan mak, bapak dan adik-adikku. Dalam tiga tahun, aku kembali menata hidup di Jakarta. Tiga tahun pula aku tidak pernah pulang. Seribu alasan membuatku sanggup mengabaikan keinginan untuk pulang. Mengabaikan mak, bapak dan adik-adikku. Rinduku pada mereka sudah tak terkira. Namun kerinduan itu terkalahkan oleh egoku. Tanpa terasa banyak hal yang sudah aku lewatkan. Lebaran, wisudanya Agus, dan melewatkan begitu banyak kisah bersama mereka.
Bapak tidak bosan-bosannya menyuruh aku pulang. Begitu juga adik-adikku.
“Nanti.”
Itu jawaban yang selalu aku berikan. Sampai akhirnya mereka lelah untuk meminta. Membiarkan aku larut dalam perantauan. Bagaimana dengan mak? Dia lebih banyak diam. Kalaupun aku telepon ke kampung. Dia hanya sekedar menanya kabar dan berpesan aku harus bisa menjaga diri. Berbicara dengannya ditelepon pun tidak lebih dari lima menit.
Bapak sekali dalam setahun selalu datang mengunjungiku. Untuk ke sekian kalinya dia harus mengalah demi anaknya. Dua kali bapak datang bersama Andi, sekali bersama Agus. Mak tidak pernah mau diajak bapak. Alasannya dia tidak bisa pergi jauh-jauh naik bus apalagi pesawat. Entah apa yang ada dipikiranku, sehingga tega memilih tidak mau pulang. Tega untuk tidak mengindahkan perasaan mak. Bersikeras hati. Demi sebuah “harga diri”.

@@@@@

“Uni, pulanglah.”
“Iya nanti, Ndi…”
Sore ini Andi meneleponku. Kembali mengutarakan niatnya menyuruhku untuk pulang.
“Nanti Uni menyesal…”
Aku menangkap suara tertahan Andi. Sepertinya dia ingin menyampaikan sesuatu. Apakah terjadi sesuatu di kampung? Apakah sesuatu terjadi sama mak? bapak?
“Mak, Bapak baik-baik aja ka, Ndi?”
Lama Andi menjawab.
“Ndi?”
“Mereka sehat, Ni. Kalau masalah baik atau tidak, aku rasa sejak Uni melangkahkan kaki keluar rumah. Mereka tidak pernah merasa baik. Mungkin mereka merasa separuh nyawanya ikut bersama Uni. Maaf Ni, selama ini aku selalu diam. Karena aku juga bisa merasakan bagaimana perasaan Uni setelah peristiwa itu. Uni butuh waktu untuk sendiri, butuh waktu melupakan kejadian itu. Tetapi kenapa berlarut-larut? Uni bisa pergi untuk mengobati luka hati. Menjauh dari omongan orang kampung. Pernah terpikir oleh Uni bagaimana perasaan mak dan bapak. Tidak usahlah Uni pikirkan perasaan aku dan Da Agus. Namun lama kelamaan aku berfikir Uni sangatlah egois. Mementingkan perasaan Uni saja. Uni lari dari masalah, tetapi masalah itu tertinggal di sini, di kampung ini bersama mak dan bapak. Bersama kami. Dan apa Uni baru akan pulang kalau terjadi sesuatu dengan mak atau bapak? Pulang dengan penyesalan? Itu yang Uni mau?”
Kata-kata Andi meghunjam tepat ke relung hatiku. Keegoisan macam apa yang aku junjung selama ini? Sehingga sanggup menutup mata hati terhadap perasaan keluargaku. Sanggup membuat aku lari, lari meninggalkan masalahku.

@@@@@

Pulang…
Aku kembali ke sini. Ke rumah yang selama ini aku tinggalkan, hanya demi sebuah “harga diri”. Demi lari menjauh dari dari masalah yang menimpaku, aku melupakan perasaan orang-orang tercinta yang aku tinggalkan. Hanya untuk seorang yang baru aku kenal selama dua tahun, mampu membuatku menyakiti perasaan orang tua dan saudara yang sudah bertahun-tahun bersamaku. Mampu mengajariku menepiskan rindu, menghilangkan akal sehatku.
Karena seseorang yang pergi dua minggu sebelum pernikahanku. Menurut kabar yang beredar dia pergi karena perempuan lain. Aku tidak pernah mencari tahu kebenaran itu. Malu yang tidak tertanggungkan membuat aku memilih untuk menghilang. Menjauh dari omongan orang-orang kampung. Menghindar dari tatapan iba mereka. Tidak pernah terpikir olehku, bukan hanya aku yang terluka, terpuruk. Keluargaku juga harus menanggungnya. Mak, bapak, Andi dan Agus pasti juga merasakan apa yang aku derita. Namun aku dengan egoisnya merasa semua itu hanyalah masalahku. Aku bisa mnghindar, bagaimana dengan keluargaku? Mereka tidak mungkin pergi. Mereka menghadapinya, di saat aku memilih untuk menjauh, menghilang. Maafkan aku, Mak, Bapak. Maafkan anakmu yang hanya mementingkan dirinya sendiri.  
Mak menyambutku. Wajah mak terlihat menua di balik senyumnya. Maafkan aku, Mak. Terlalu lamakah anakmu ini di perantauan, perantauan hati…

Lamakah aku pergi
Hingga tak sadar rambutmu makin memutih
Banyak waktuku yang terbuang rugi
Lamakah aku pergi
Hingga tak sadar beribu kisah ingin ku bagi
Berilah aku waktu sebentar lagi…

(Ku Kan Pulang - Dialog Dini Hari)


-END-

@@@@@

Begitu banyak alasan sebuah perantauan. Mencari peruntungan di daerah atau negara lain, karena tugas yang harus berpindah-pindah, ikut suami atau isteri, dan berbagai alasan lainnya. Bisa juga karena urusan hati dan bahkan lari dari kenyataan ahahaha.
Dan begitu banyak juga alasan, kenapa ada orang yang bertahun-tahun “betah” di rantau tanpa pernah pulang ke kampung halamannya. Apapun alasannya, pastilah ada setitik rindu bersarang di hati para “Malin Kundang” dan “Malin Kundangwati” itu.

Salam dari negeri rantau…



Dee


(Gambar dari Google)