Perantauan Hati


“Aku harus pergi dari kampung ini, Mak”
Mak bergeming. Perhatiannya seolah tersedot sehelai baju bapak yang nyaris lepas kancingnya. Tangannya lihai memainkan jarum. Menguntai benang, merapikan kancing itu. Aku menatap Mak. Menunggu dia menyelesaikannya. Mak sepertinya sengaja berlama-lama hanya untuk sebuah kancing. Mengacuhkan perkataanku.
“Mak…”
Mak masih saja diam.
“Mak, aku…”
“Kapan, kau akan pergi?”
Mak bertanya sambil memutus benang dengan menggigitnya. Aku malah kaget dengan pertanyaan mak. Aku menyangka, dia akan bertanya “kenapa?”. Seharusnya itu yang dia tanyakan. Namun mak sepertinya juga tidak perlu mempertanyakan. Dia sudah tahu alasanku. Ahhh, aku tetap tidak siap dengan pertanyaan mak.
"Secepatnya.”
Aku menyahut sambil memilin-milin benang yang tadi digunakan mak. Gelisah.
“Nanti aku bicarakan sama bapakmu.”
Mak beranjak dari duduknya di teras, masuk ke dalam rumah. Meninggalkan aku yang terpaku.

@@@@@

“Harus kau pergi dari kampung ini?”
Bapak bertanya sambil menatap layar televisi. Mak dari tadi hanya terlihat mondar-mandir di dapur. Adikku, Andi dan Agus sedari Maghrib mengunci diri di kamar mereka. Sepertinya seisi rumah ini tahu aku akan “disidang” bapak. Aku memperhatikan bapak. Matanya memang lurus menghadap televisi di ruang keluarga kami, tapi aku tahu, pikirannya tidak.
‘Iya Pak.”
“Yakin kau, dengan putusanmu?”
Aku hanya mengangguk. Bapak pasti bisa melihat anggukanku dari sudut matanya. Keputusanku sudah bulat. Meskipun aku tahu ini nekat, restu dari mak dan bapak harus tetap aku pikirkan. Aku tidak mungkin pergi tanpa ijin mereka.
“Karena semua kejadian itu, kau akan pergi meninggalkan kampung ini? Meninggalkan mak kau juga?”
“Maafkan aku, Pak, sekarang yang ada di pikiranku pergi dari sini.”
“Dengan siapa nanti mak, kau?”
“Ada Andi dan Agus.”
Aku menjawab sambil menahan air mata yang sudah sedari tadi ditahan. Aku hanya mampu menjawab itu, meskipun tahu ini jawaban yang salah dan menyakitkan.
“Kau anak perempuan satu-satunya. Belum lagi pekerjaan kau? Bisa kau minta pindah ke Jakarta itu?”
“Aku akan berhenti. Pak.”
“Berhenti? Maksud kau, kau behenti jadi pegawai?”
Suara bapak sepertinya bergetar, menahan marah. Wajar bapak marah. Anak yang sudah susah payah disekolahkan sampai perguruan tinggi. Menjadi pegawai negeri. Sekarang meminta ijin untuk meninggalkan semuanya.
“Apa gunanya kau pergi? Kau sakit hati karena omongan orang kampung? Tidak ada gunanya kau dengarkan omongan mereka. Nanti mereka juga akan lupa. Urungkan niat kau itu, Gita. Anggap saja, kali ini Bapakmu ini memohon pada anaknya.”
Airmataku tumpah. Perkataan bapak menyayat hatiku. Aku juga ingin memilih tinggal di samping mereka. Namun sulit untuk mengalah pada kuatnya keinginan untuk pergi. Pergi dari masalah yang mengelilingiku. Mak  yang sedari tadi sengaja menyibukkan diri di dapur, datang memelukku. Kami bertangisan. Air mata mengalir di sudut mata bapak.
Maafkan anakmu ini, Mak, Bapak…

@@@@@

Tiga tahun sudah aku pergi. Meninggalkan mak, bapak dan adik-adikku. Dalam tiga tahun, aku kembali menata hidup di Jakarta. Tiga tahun pula aku tidak pernah pulang. Seribu alasan membuatku sanggup mengabaikan keinginan untuk pulang. Mengabaikan mak, bapak dan adik-adikku. Rinduku pada mereka sudah tak terkira. Namun kerinduan itu terkalahkan oleh egoku. Tanpa terasa banyak hal yang sudah aku lewatkan. Lebaran, wisudanya Agus, dan melewatkan begitu banyak kisah bersama mereka.
Bapak tidak bosan-bosannya menyuruh aku pulang. Begitu juga adik-adikku.
“Nanti.”
Itu jawaban yang selalu aku berikan. Sampai akhirnya mereka lelah untuk meminta. Membiarkan aku larut dalam perantauan. Bagaimana dengan mak? Dia lebih banyak diam. Kalaupun aku telepon ke kampung. Dia hanya sekedar menanya kabar dan berpesan aku harus bisa menjaga diri. Berbicara dengannya ditelepon pun tidak lebih dari lima menit.
Bapak sekali dalam setahun selalu datang mengunjungiku. Untuk ke sekian kalinya dia harus mengalah demi anaknya. Dua kali bapak datang bersama Andi, sekali bersama Agus. Mak tidak pernah mau diajak bapak. Alasannya dia tidak bisa pergi jauh-jauh naik bus apalagi pesawat. Entah apa yang ada dipikiranku, sehingga tega memilih tidak mau pulang. Tega untuk tidak mengindahkan perasaan mak. Bersikeras hati. Demi sebuah “harga diri”.

@@@@@

“Uni, pulanglah.”
“Iya nanti, Ndi…”
Sore ini Andi meneleponku. Kembali mengutarakan niatnya menyuruhku untuk pulang.
“Nanti Uni menyesal…”
Aku menangkap suara tertahan Andi. Sepertinya dia ingin menyampaikan sesuatu. Apakah terjadi sesuatu di kampung? Apakah sesuatu terjadi sama mak? bapak?
“Mak, Bapak baik-baik aja ka, Ndi?”
Lama Andi menjawab.
“Ndi?”
“Mereka sehat, Ni. Kalau masalah baik atau tidak, aku rasa sejak Uni melangkahkan kaki keluar rumah. Mereka tidak pernah merasa baik. Mungkin mereka merasa separuh nyawanya ikut bersama Uni. Maaf Ni, selama ini aku selalu diam. Karena aku juga bisa merasakan bagaimana perasaan Uni setelah peristiwa itu. Uni butuh waktu untuk sendiri, butuh waktu melupakan kejadian itu. Tetapi kenapa berlarut-larut? Uni bisa pergi untuk mengobati luka hati. Menjauh dari omongan orang kampung. Pernah terpikir oleh Uni bagaimana perasaan mak dan bapak. Tidak usahlah Uni pikirkan perasaan aku dan Da Agus. Namun lama kelamaan aku berfikir Uni sangatlah egois. Mementingkan perasaan Uni saja. Uni lari dari masalah, tetapi masalah itu tertinggal di sini, di kampung ini bersama mak dan bapak. Bersama kami. Dan apa Uni baru akan pulang kalau terjadi sesuatu dengan mak atau bapak? Pulang dengan penyesalan? Itu yang Uni mau?”
Kata-kata Andi meghunjam tepat ke relung hatiku. Keegoisan macam apa yang aku junjung selama ini? Sehingga sanggup menutup mata hati terhadap perasaan keluargaku. Sanggup membuat aku lari, lari meninggalkan masalahku.

@@@@@

Pulang…
Aku kembali ke sini. Ke rumah yang selama ini aku tinggalkan, hanya demi sebuah “harga diri”. Demi lari menjauh dari dari masalah yang menimpaku, aku melupakan perasaan orang-orang tercinta yang aku tinggalkan. Hanya untuk seorang yang baru aku kenal selama dua tahun, mampu membuatku menyakiti perasaan orang tua dan saudara yang sudah bertahun-tahun bersamaku. Mampu mengajariku menepiskan rindu, menghilangkan akal sehatku.
Karena seseorang yang pergi dua minggu sebelum pernikahanku. Menurut kabar yang beredar dia pergi karena perempuan lain. Aku tidak pernah mencari tahu kebenaran itu. Malu yang tidak tertanggungkan membuat aku memilih untuk menghilang. Menjauh dari omongan orang-orang kampung. Menghindar dari tatapan iba mereka. Tidak pernah terpikir olehku, bukan hanya aku yang terluka, terpuruk. Keluargaku juga harus menanggungnya. Mak, bapak, Andi dan Agus pasti juga merasakan apa yang aku derita. Namun aku dengan egoisnya merasa semua itu hanyalah masalahku. Aku bisa mnghindar, bagaimana dengan keluargaku? Mereka tidak mungkin pergi. Mereka menghadapinya, di saat aku memilih untuk menjauh, menghilang. Maafkan aku, Mak, Bapak. Maafkan anakmu yang hanya mementingkan dirinya sendiri.  
Mak menyambutku. Wajah mak terlihat menua di balik senyumnya. Maafkan aku, Mak. Terlalu lamakah anakmu ini di perantauan, perantauan hati…

Lamakah aku pergi
Hingga tak sadar rambutmu makin memutih
Banyak waktuku yang terbuang rugi
Lamakah aku pergi
Hingga tak sadar beribu kisah ingin ku bagi
Berilah aku waktu sebentar lagi…

(Ku Kan Pulang - Dialog Dini Hari)


-END-

@@@@@

Begitu banyak alasan sebuah perantauan. Mencari peruntungan di daerah atau negara lain, karena tugas yang harus berpindah-pindah, ikut suami atau isteri, dan berbagai alasan lainnya. Bisa juga karena urusan hati dan bahkan lari dari kenyataan ahahaha.
Dan begitu banyak juga alasan, kenapa ada orang yang bertahun-tahun “betah” di rantau tanpa pernah pulang ke kampung halamannya. Apapun alasannya, pastilah ada setitik rindu bersarang di hati para “Malin Kundang” dan “Malin Kundangwati” itu.

Salam dari negeri rantau…



Dee


(Gambar dari Google) 



2 komentar: