“Hari gini masih jomblo? Nggak banget ihhh.”
“Malam mingguan sendirian aja ngapain sih kalau jomblo
ya?”
“Sedih nggak sih nggak punya pasangan?”
Begitulah segelintir ungkapan atas
ke-ngenes-an nasib jomblo. Dan status
ngenes sebagai jomblo itu akan lebih
lengkap karena lu ada di NKRI tercinta. Mau lebih ngenes se-ngenes-nya? Di
saat hari dimana harusnya menjadi ajang silaturahmi, ajang kembali fitrah
tetapi menjadi ajang bullying terselubung
buat para jomblo. Pertanyaan "kapan nikah" buat jomblo yang “sepatutnya” sudah
harus menikah menjadi semacam ritual wajib. Dan biasanya ritual ini akan
berlanjut menjadi ajang tuduhan. Mulai tuduhan nggak laku, terlalu pemilih, dan
beragam tuduhan lain yang membuat para jomblo tersudut. Seharusnya kembali
fitrah, bisa jadi malah menyulut amarah. Sulit memang hidup di negara yang
sangat “perduli” dengan hidup orang lain ahahaha.
Lihatlah, betapa tidak asiknya ya
menjadi seorang jomblo. Ini belum lagi ditambah kalau ada acara reunian, mulai dari reuni
TK sampai S3 ahahaha. Belum lagi pertanyaan dan tatapan prihatin dari para tetangga
sampai mbak-mbak atau mas-mas dari asuransi yang sering melontarkan kata
“Lumayan bu, untuk asuransi keluarganya. Putra atau putrinya umur berapa?” Minta
dijambak ya, calon bapaknya saja belum muncul hilalnya. Tetapi apakah iya,
nasib menjomblo sedemikian tragisnya?
Kalau dicari di Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) tidak akan ditemukan kata-kata jomblo. Yang ada adalah jomlo.
Pengertian di KBBI jomlo itu adalah gadis tua. Entahlah atas dasar apa itu
menjadi gadis tua. Apa maksudnya yang merana kalau jomblo itu hanya para
wanita. Yang mengartikan minta digelitik pakai
garpu deh. Pada dasarnya baik itu wanita atau laki-laki, menjomblo tetap
menjadi mangsa empuk buat di-bully. Karena
mungkin menurut kacamata mereka yang tidak men-jomblo, status jomblo adalah
sebuah penderitaan tanpa batas, aib yang teramat sangat, kesedihan tak
berujung. Terkesan lebay? Memang
karena itulah ke-lebay-an yang selama
ini kalian junjung. Menganggap jomblo adalah simbol ke-ngenes-an.
Padahal kalau mau jujur, dibalik ngenes-nya nasib seorang jomblo ada
beberapa hal yang diyakini tidak dimiliki bagi mereka yang sudah mempunyai
pasangan. Salah satunya adalah “kebebasan”. Tidak bisa dipungkiri bahwa setelah
lu punya pasangan, yang namanya kebebasan tidak bisa lagi lu miliki dengan
mutlak. Nggak usah pake bilang, “Pacar gue pengertian kok, dia bebasin gue”.
Sepengertiannya apa pun pacar atau pasangan lu, sadar atau tidak sadar “kebebasan”
itu bukan lagi “hak” lu. Nggak usah mangkir dengan kenyataan ini. Nah kalau
pacar atau pasangan lu cemburuan, ucapkan selamat tinggal pada kebebasan. Jalan
sama teman dicurigai, di media social nge-like
atau nge-love status teman
dicemburui, telat jawab telepon dimarahin, dia nggak ngasih kabar galau. Ini
segelintir contoh. Belum lagi pertemanan lu dibatasin, medsos lu di-stalker, ngapa-ngapain
musti laporan. Kelar hidup lu. Kecuali lu menikmatinya sih. Tetapi mana ada sih
manusia yang kebebasannya mau direnggut.
Jomblo itu bebas mau jalan sama siapa
saja, online sama siapa saja, berteman dengan siapa saja, hangout sama siapa saja, bebas mengatur jadwal sendiri, tanpa harus
memikirkan “perasaan” pasangan, yang terkadang menguras energi. Pada intinya lu
jomblo, lu bisa menikmati dunia lu. Bebas sebebasnya. Tentu bebas dalam maksud
yang positif ya. Dan para jomblo nikmati hal tersebut sebelum lu punya
pasangan. Karena hal ini lah yang sangat “dicemburui” oleh mereka yang punya
pasangan. Walaupun mereka seringkali menafikan itu, mengatakan pada para
jomblo “apa enaknya sendiri”.
Memangnya situ lahir langsung punya pasangan :p. Pasti pernah sendiri kan, dan
pernah merasakan betapa “nikmatnya’’ kesendirian.
Jomblo itu memang sendiri, tetapi
belum tentu merasa sendirian. Karena dengan statusnya yang masih sendiri, dia
bisa melakukan apa saja yang bisa membuatnya bahagia. Bebas mengekspresikan
diri, bebas menekuni hobi, bebas melangkahkan kaki kemanapun yang dia mau dan kebebasan
lainnya. Ada kok yang sudah punya pasangan juga mempunyai kebebasan seperti
halnya jomblo. Bisa jadi sih ada, tetapi seberapa banyak? Dan apa iya bebasnya
murni? Coba dijawab sendiri saja buat yang punya pasangan.
Belum lagi ya kalau status lu sudah
menikah, bukan pacaran doang. Menikah itu artinya lu sudah punya catatan
tertulis bahwa lu sudah tidak bisa seenaknya sendiri. Lu nggak bisa egois
memikirkan “mau” lu sendiri. Harus memikirkan pasangan, dan nantinya setelah
punya anak harus memikirkan berbagai hal tentang anak. Mulai dari A sampai Z
musti lu pikirin. Menikah itu ibadah lho. Menikah itu ajang untuk ladang pahala.
Tetapi ingat, jomblo itu juga bukan dosa lho. Jomblo berarti bukan tidak mau
menikah, tetapi belum saatnya dia menikah. Kalau sudah urusan pahala dan dosa,
mari kita serahkan ke diri masing-masing dan Tuhan. Yang punya pasangan yang
menyakiti pasangannya, apa iya pahala yang didapat.
Seharusnyalah bagi yang
mempunyai pasangan ucapkan terima kasih pada para jomblo, karena dengan adanya para
jomblo kalian “derajatnya” naik satu level dan kalian punya bahan bully-an. Lagian nggak usah terlalu
bangga punya pasangan, karena tidak ada yang abadi di dunia ini. Mati juga nggak
ajak-ajak pasangan kan? Emangnya situ Romeo dan Juliet. Di kubur yang ditanya juga bukan siapa pasangan lu ini.
Jadi kesimpulannya, ke-ngenes-an bukan karena lu jomblo atau
nggak. Lu punya pasangan bukan berarti hidup lu paling bahagia, sebahagia ending-nya dongeng Cinderella. Dan lu jomblo
bukan berarti pula hidup lu nggak bisa bahagia. Baik yang sudah punya pasangan maupun
yang masih menjomblo itu pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Namun
sepertinya jomblo lebih terlihat kekurangannya ya, terutama bagi mereka yang
sudah “layak” untuk menikah, hal ini tidak luput dari stigma masyarakat kita pada
umumnya bahwa menikah itu karena usia, bukan menikah karena saatnya.
Memang sih seperti halnya manusia biasa,
jomblo juga nggak luput dari ketidaksempurnan. Kegalauan pastilah terkadang
mendera. Resah juga selintas ada. Tetapi itu bukan bentuk sebuah ke-ngenesan-an. Yang punya pasangan saja
boleh galau, masak jomblo nggak boleh. Jadi, nikmatin saja status masing-masing
dengan cara kita sendiri. Punya pasangan adalah komitmen, jomblo adalah
anugerah. Karena ada orang bijak yang mengatakan, “being single is smarter than being in the wrong relantionship”.
Dengan kata lain, siapa yang lebih beruntung, jomblo tetapi bahagia, daripada punya pasangan tetapi merasa sendiri?
Selamat menikmati ke-jomblo-an selagi
masih belum diberikan pasangan yang tepat, di saat yang tepat, dan di koridor yang tepat. Karena
sejatinya “Jodoh itu misterius, dia
datang begitu saja dan lewat begitu saja – Clara Ng”.
*****
Tulisan ini terlahir karena tantangan dari grup The Jones Goes To Merried ^^
Grup yang beranggotakan empat manusia ajaib yang berasal dari daerah yang berbeda. Ada Gita, wanita Batak yang berdomisili di Jakarta. Mhimi, wanita Makassar yang juga menetap di sana. Ilham, lelaki Jambi yang tinggal di Bangko. Dan aku sendiri, wanita Padang yang merantau ke Jakarta. Nasib mempertemukan kami. Indahnya perbedaan yang kadang melahirkan perdebatan ahahaha. Peace and love ^ ^
Dee
Ajibbbb, applusss buat tulisan uni 😘😘😘😘😘
BalasHapusMakasihh Mhimi ^ ^
BalasHapus:) semangat kak
BalasHapusHarusss dongggg :)
Hapusaku sih bahagia jadi jomblo, soalnya kalau punya pacar bukanya seneng malah galau muluuuuu.... yang cemburulah, inilah dan itulahhh....
BalasHapusso jomblo bukan alasan untuk kamu tidak bahagia..
Ahahahaha bener, nggak jaminan punya pasangan lebih bahagia dari yang jomblo kan :)
Hapus