Bulir-bulir air hujan membasahi kaca jendela. Rania
menatap ke luar jendela kafe dengan tatapan nanar. Matanya berkaca-kaca. Rania
memejamkan matanya menahan airmatanya mengalir. Suasana kafe terlihat sepi,
mungkin karena hujan. Hanya empat pengunjung yang ada selain Rania. Rania
membuka matanya. Dia singgah ke kafe ini karena hujan yang tiba-tiba turun. Dulu
Rania sangat menyukai suara hujan. Baginya suara hujan terdengar indah di
telinga. Namun sekarang, suara hujan hanya membangkitkan kenangan dan luka.
Rania meraih gelas berisi coklat hangat di meja. Menggenggam kedua sisi gelas.
Rania menghangatkan tangannya yang terasa dingin, seperti hatinya yang juga terasa
dingin.
Hujan masih membuatku merindumu...
****
Satu tahun
yang lalu
Rania berlari kecil menuju halte bus di depannya. Saat
itu hujan mulai deras. Rania menutupi kepalanya dengan telapak tangan sebelah
kanan. Air hujan mulai membasahi baju Rania. Sesampainya di halte yang sudah
penuh dengan orang-orang yang berteduh, Rania mencari posisi untuk menghindari
hujan yang semakin deras. Rania memandangi hujan, kemudian melihat sekilas
orang-orang di sekitarnya yang terlihat memasang wajah kesal. Rania melirik jam
tangannya. Sepertinya hujan akan sukses membuat dia dan orang-orang ini terlambat
ke kantor. Rania menyunggingkan senyumnya memandangi hujan. Mungkin hanya dia
yang tersenyum saat ini. Ada seseoang yang membuatnya menyukai suara hujan. Bahkan
dengan kondisi seperti sekarang, dimana dia harus tertahan untuk menuju ke kantor,
dan sebagian bajunya basah, baginya suara hujan tetap indah. Rania mengulurkan
tangan kanannya, merasakan sejenak hujan dengan telapak tangannya.
“Rania?”
Rania menoleh ke arah suara yang memanggilnya.
“Benar Rania kan?”
Rania menganggukkan kepalanya sambil mengernyitkan
dahinya memandangi pria di depannya. Sepertinya dia mengenalnya.
“Haris?”
“Iyaaa, aku Haris. Astaga, mimpi apa ketemu kamu di
sini. Tadi aku sempat ragu ketika tadi lewat. Dan berbalik lagi buat mastiin.
Apa kabar Rania?”
Haris mengulurkan tangannya. Mereka berjabatan tangan.
Rania juga merasa tidak percaya bisa bertemu Haris, teman SMA-nya yang sejak
lulus tidak pernah ada kabarnya. Yah, Haris, pria yang pernah menyentuh rasa di
hati Rania. Pria yang yang membuat dia menyukai suara hujan.
“Mas payungnya tuh, bikin orang makin kebasahan aja.”
Omelan mbak-mbak di samping Rania.
Haris meminta maaf dan mundur ke belakang.
“Kantor kamu dimana?”
Rania menunjuk salah satu gedung yang berada di
seberang halte.
“Mau tetap berdiri di sini atau mau bareng aku ke
sana? Kantorku di gedung sebelahnya.”
Haris mendekat dan mengulurkan payungnya ke arah
Rania. Mereka kemudian melangkah meninggalkan halte.
“Sepertinya kita harus ketemu nanti setelah jam kantor
untuk saling menceritakan kabar kita. Berapa tahun kita nggak ketemu, sepertinya
hampir delapan tahun ya. Aku nanti tunggu kamu ya di depan kantormu.”
Rania yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi
sekarang hanya mengangguk.
“Hey, kamu apa berubah menjadi lebih kalem atau sedang
berniat untuk hujan-hujanan?”
“Bukan, masih nggak percaya aja, bisa ketemu kamu.”
“Hujan sepertinya memang menjadi takdir kita ya.”
“Iya tetapi dulu kita nggak perpayungan seperti
sekarang.”
“Mau hujan-hujanan?” Haris sedikit memiringkan
payungnya, menggoda Rania.
“Tidak saat sekarang, nggak mungkin dong sampai kantor
basah kuyup.”
Haris tertawa. Tawa itu masih seperti yang dulu. Haris
dan Rania satu kelas selama tiga tahun sejak SMA. Tetapi mereka baru akrab
sejak kelas tiga SMA. Haris yang membuat Rania menyukai hujan. Dulu Rania
sangat kesal saat hujan turun, karena baginya hujan hanya membuat masalah. Rania
yang saat itu bersungut-sungut karena harus menunggu hujan reda, di halte depan
sekolah, dan dia lupa membawa payung. Sementara ada ulangan pagi itu. Haris
yang saat itu juga berteduh, tetapi sangat terlihat tenang. Terlihat menikmati
setiap tetesan hujan yang turun. Kontras sekali dengan wajah Rania. Rania saat
itu belum terlalu akrab dengan Haris, melihat aneh dengan ekspresinya Haris.
Ada ternyata orang yang bahagia melihat hujan. Entah apa yang membuat wajahnya
terlihat bahagia melihat hujan. Haris yang merasa diperhatikan Rania, tiba-tiba
saja menarik tangan Rania dan mereka berlarian menuju gerbang sekolah. Saat itu
hujan mulai sedikit mereda, tetapi cukup membuat basah seragam mereka.
“Jangan terlalu membenci hujan. Kesalmu tidak akan
meredakan hujan. Nikmati saja. Kalau kamu menikmatinya, hujan itu memiliki
suara yang indah.” Haris berkata sembari mereka berlarian. Rania hanya terdiam.
Sesampai di depan kelas, Haris tersenyum memandangi
Rania.
“Dan satu hal lagi, kamu tidak akan pernah melihat
pelangi kalau hujan nggak turun.”
Rania masih tetap terdiam. Tetapi ada yang terusik
dalam diam itu. Semenjak itu lah Rania tidak lagi membenci hujan. Ada rindu
dalam setiap hujan, rindu yang hanya dirasakan oleh Rania. Setelah tamat SMA
perasaan itu tidak pernah terungkapkan. Sampai mereka berpisah saat kelulusan
sekolah. Haris kemudian kuliah di luar kota. Dan lambat laun mereka pun tidak
pernah lagi saling berkabar. Begitu juga rasa di hati Rania, namun kadang masih terkenang dan terasa kala hujan turun.
“Rania, helooo Rania.” Haris melambai-lambaikan
tangannya di depan wajah Rania.
“Ehhh ya? Kamu tadi bilang apa?” Lamunan Rania buyar.
“Nanti aku tunggu sepulang kantor ya. Jam lima tiga
puluh, oke.”
“Oke baiklah.”
Rania memandangi Haris yang berjalan ke arah kantornya.
Dan kemudian memandangi hujan yang semakin mereda. Ada pelangi di mata Rania…
****
Semenjak itu lah Rania kembali sering berkomunikasi
dan bertemu dengan Haris. Dan tanpa Rania sadari perasaannya kepada Haris
kembali terusik. Rania masih berusaha untuk mengingkarinya. Karena dia tidak
pernah punya keberanian untuk menyatakan perasaannya kepada Haris. Namun
perhatian dan sikap Haris kadang kala membuat Rania bingung. Haris memang tidak
selalu ada untuknya setiap hari, tidak berkomunikasi setiap hari. Tetapi Haris
selalu ada ketika Rania membutuhkannya.
Sampai akhirnya hampir setahun setelah pertemuan
mereka kembali. Rania memutuskan untuk menyatakan dan memepertanyakan sikap
Haris. Karena dia tidak mau selalu bimbang dan Haris kembali menghilang seperti
dulu. Salah seorang sahabat Rania mengatakan, dengan mempertanyakan keberadaan Haris, akan
bisa mambuat Haris menghilang kalau seadainya Haris tidak punya perasaan
apa-apa ke Rania. Resiko yang harus Rania hadapi. Namun sebelum sempat Rania
bertanya, Haris sudah menyatakan sesuatu kepada Rania. Saat itu mereka sedang
berada di sebuah kafe sepulang dari
kantor. Menunggu hujan reda.
“Aku mau berterima kasih sama kamu Rania.”
“Untuk?”
“Sudah mau menjadi sahabatku selama ini. Aku sangat
bahagia kita bisa bertemu lagi. Dan aku tahu, aku akan jahat jika menyatakan
ini padamu.”
“Maksudnya?” Rania sama sekali tidak mengerti arah
pembicaraan Haris.
“Aku tahu kamu punya perasaan sama aku selama ini.
Bahkan sejak SMA, aku tahu. Karena itulah aku menghilang pergi dari kamu. Karena
tidak ingin membuat perasaan kamu smakin besar ke aku.”
“Lalu kenapa kamu menyapa aku sewaktu kita bertemu
lagi waktu itu?”
“Aku berfikir perasaan kamu ke aku sudah hilang,
tetapi teryata aku salah. Aku kembali membuat kamu berharap bukan?”
“Jadi maksudnya kamu sekarang pun tidak memiliki
perasaan apapun ke aku? Lalu kenapa kamu selalu ada ketika aku membutuhkanmu?”
“Karena kamu itu sudah aku anggap sebagai adik aku
sendiri Rania. Sungguh pernah aku mencoba untuk menyukaimu lebih dari itu
tetapi aku nggak bisa. Dan sekarang ini pun, aku sudah mempunyai seseorang
sebagai calon istriku. Dia tahu tentang kamu. Dia yang memintaku untuk berterus
terang, karena dia tidak mau membuat kamu juga semakin berharap sama aku.
Membuat aku semakin menyakiti hatimu.”
Rania terdiam. Hujan di luar tiba-tiba menjadi
menyeramkan bagi Rania.
“Terima kasih atas kejujuranmu. Dan mungkin butuh
waktu buatku untuk menerima semua ini.” Rania berkata sambil menahan tangis.
Rania beranjak dari kursinya.
“Aku pergi, semoga kita suatu saat bisa bertemu lagi.”
“Di luar masih hujan, Rania.”
Rania tidak memperdulikan ucapan Haris. Dia ingin
menikmati hujan yang membuatnya jatuh cinta dan juga terluka. Hujan semakin deras,
begitu juga air mata Rania.
“Rania! Maafkan aku.” Haris berteriak dari depan kafe.
Dia menahan diri untuk mengejar Rania. Karena dia mengerti Rania ingin
menyendiri saat ini.
Rania berbalik dan memandang Haris. Hujan tidak akan
membiarkan air matanya terlihat oleh Haris. Rania melambaikan tangan dan
tersenyum ke arah Haris.
Dan Rania berlalu dalam hujan, membiarkan cinta dan rindunya luruh oleh hujan...
****
Dee
Aku kok sedih yah bacanya :'(
BalasHapusKenapa cerpen kita mirip?
BalasHapusMungkin kita membaca hujan dalam gambar yg sama��